Inilah Aku
- Home
- Cerita Sex Gay
- Inilah Aku
CERITA SEX GAY,,,,,,,,,,
Aku Fahlevi.Musim . . . Waktu . . . dan cinta . . .Semuanya datang dan mewarnai perjalanan hidupku. Indah memang, tapi kenapa selalu berakhir untuk melepaskan. Membiarkannya pergi karena suatu alasan dan keadaan yang tidak bisa di tentang. Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri mengapa dulu aku memulainya? Mengapa dulu aku tidak menepisnya? Mengapa aku mengulur waktu? Mengapa tidak membalas rasa yang besar itu?Semua karena aku merasa ingin di cintai dan takut kehilangan.Aku belum memiliki tetapi aku begitu takut kehilangan, itukah rasa? Aku bahkan sudah memutuskan untuk tidak perna memulainya lagi, bukankah itu titik aman. Apakah ini yang juga diinginkan hatiku?Kurasa bukan.Sampai saat dia muncul seperti era yang baru. Memberiku spirit baru sekaligus membangkitkan semua kenangan lama. Apakah kulanjutkan lagi perjalanan hidupku atau memilih bersikukuh dengan trauma dan membiarkan aku membenci diri sendiri? + a
+ a
Inilah perjalanan kisah cintaku di dunia yang asing ini. + a
Oktober 2008. + a
“Aku tidak bisa Sam, aku belum bisa melupakan dia sepenuhnya. Bayang-bayangnya masih selalu mengikutiku.” + a
Masih dengan alasan yang sama untuk ketiga kalinya, kukatakan kepada Sammy. Aku sepenuhnya belum bisa melupakan seseorang yang perna membuatku merasakan – inilah bahagia. Selain daripada itu aku belum begitu yakin apakah Sammy benar-benar dengan apa yang di katakannya. Dengan cintanya, ketulusannya. + a
Ruang di hati ini masih kosong, berdebu, hanya tertinggal jejak-jejak kita yang perna ada. Mungkin tak perna ada lagi yang bisa menggantikan kamu. Selamanya. + a
“Aku tulus Vi sayang sama kamu, aku tak tahu menjelaskannya bagaimana lagi,” Sammy berkata lirih. Sampai akhirnya dia menarik tubuhnya lalu menghempaskannya di sandaran sofa di susul hembusan napas yang terdengar berat, perlahan tangan itu bergerak melonggarkan simpulan dasi di lehernya sembari melepas kancing teratas. + a
Sudah satu jam kami di sini, di ruang tengah apartemenku. Ini adalah kunjungannya yang kesekian kalinya setelah pertemuan pertama kami awal September lalu. Ingatan itu masih segar, waktu itu aku dalam penerbangan menuju Makassar, sebagai staf audit aku di tugaskan dalam kunjungan audit tahunan di kantor regional yang berada di Makassar. Bangun telat, dokumen yang tertinggal, sampai jalanan macet menjadi masalah yang saling berhubungan yang membuat aku menjadi penumpang yang paling terakhir menjejakkan kaki di pesawat yang sebentar lagi akan take off. + a
“Silakan.” + a
Seorang awak kabin pria mempersilahkan kepadaku dengan senyumnya yang kuanggap hanya sebatas formalitas saja. Kuakui dia gagah, wajahnya yang bersih dengan bekas cukur yang masih membayang di sana, dengan tinggi sekitar 180 cm, dan postur yang tegap. Tidak meleset untuk ukuran seorang awak kabin. + a
Dan sampai saat aku akan meninggalkan pesawat, awak kabin tersebut tersenyum menghampiriku, memberiku secarik kertas bertuliskan pin blackberry massegernya. Tatapanku beralih ke papan nama di bagian kiri dadanya. Sammy. + a
Kami masih berada dalam pusaran diam. Cukup lama. + a
“Aku tak bisa memaksamu Vi, bagaimanapun besarnya rasa ini jika menjadi teman tak memisahkan kita, aku akan menjadi teman terbaikmu. Maaf membuat kamu tidak nyaman dengan semua permintaanku selama ini.” + a
Sammy akhirnya memecah sekat kebisuan di antara kami. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tawar menatapnya, kulihat jelas kekecewaan berpendar di matanya yang bersih. + a
“Maafkan aku Sam,” batinku. + a
“Boleh aku meminta untuk terakhir kalinya?” tanyanya kemudian. + a
“Apa?” + a
“Dia ingin memelukku? Menciumku? Atau…” + a
Cukup lama Sammy menjawab apa yang di inginkannya. + a
“Aku ingin mendengar cerita antara kalian. Semuanya. Boleh?” Sammy terdengar memohon. + a
Aku menatapnya lekat-lekat. + a
“Ini sama saja kamu membangkitkan lagi kenangan itu,” batinku. + a
“Tapi Sam -” + a
“Iya, nggak masalah,” Sammy memotong cepat. Seakan tahu jawabaku tak lain adalah penolakan. “sebagian orang memang menyimpan kisahnya tanpa harus menceritakannya. Sekali lagi maaf dengan permintaan konyolku barusan,” keluh Sammy sambil menegakkan duduknya, “aku balik dulu Vi, sudah larut kebetulan besok aku flight pagi.” + a
Perlahan dia bangkit, setelah melihat anggukanku. + a
Dia kembali berbalik menatapku setelah sampai di ambang pintu. Mendadak kuliat ia yang aku rindukan dengan senyum yang mengembang di sana. + a
“Arnol…” gumamku, dan langsung bangkit dari tempat duduk. + a
“Ada apa Vi, kamu kenapa?” tanya Sammy memastikan ucapanku. + a
Aku tersentak, “Nggak, nggak apa-apa,” ku tarik napas dalam-dalam. + a
“Iya, akan ku ceritakan. Besok aku tunggu di sini,” aku berkata lirih kemudian. + a
Malam selanjutnya Sammy kembali menemuiku, dengan balutan pakaian kasual dia terliat beda tetapi entah mengapa aku lebih suka melihatnya dengan seragam kerjanya. Tanpa mengulur waktu aku menceritakan kisah itu. Yang sebenarnya aku masih meragu apa benar dia adalah orang yang tepat untuk mengetahuinya. Semoga saja iya. + a
Agustus 2006 di sebuah ruang tahanan polsek. + a
Entah pukul berapa malam itu, yang jelas suara adzan Isya sudah berkumandang sangat jauh sebelumnya. Dua hari sudah sejak masuk dan menjadi penghuni di kamar sel dengan luas 1,5 x 4 meter ini. Seorang diri, sejak itu panca inderaku mendadak lumpuh dan seperti tidak berfungsi, hanya dengan mendengar sayup-sayup suara Adzan aku dapat informasi waktu. Meringkuk di sudut ruangan dalam keadaan setengah terlelap malam itu aku sedikit tersentak dengan suara grandel pintu yang di buka, dalam keremangan sedikit kudongakkan kepala. + a
“Masuk,” terdengar perintah seorang polisi yang bisa langsung aku tebak, bernama Anwar. + a
Sosok yang di perintah langsung melangkahkan kaki masuk tanpa bersuara. Selanjutnya terdengar lagi pintu jeruji yang di tutup dengan gembok yang di pasang kembali. Sepeninggalan polisi sosok tersebut menarik nafas panjang dan menghembuskannya cepat, terdengar berat. Dan aku pun melanjutkan tidur. + a
Keesokan paginya. Sosok yang masuk semalam dapat kulihat dengan jelas. Perawakan tinggi sedikit kurus, bola matanya jernih, di naungi oleh alis lebatnya yang hitam, dan entah kenapa nuraniku mengatakan dia orang baik, dia sempat melemparkan senyum kepadaku meski keresahan di rautnya tak dapat di sembunyikan. Dan ternyata di sini aku bertemu dengannya hanya lima jam saja, sampai seorang polisi datang menjemputku. Kami lebih banyak menatap lantai semen yang licin tak berubin bergantian dengan dinding di depan kami yang bernoda dan penuh bekas coretan benda tajam bertuliskan nama, tanggal dan kata-kata penyesalan juga doa. Kami tidak mengobrol banyak, hanya saling menyebut nama masing-masing. Dia bernama Arnol. + a
Oktober 2006 + a
Ruang besuk Lembaga Pemasyarakatan kelas II + a
Jujur aku sedikit berdebar. Ku tatap lekat-lekat ubin berbentuk persegi yang baru di pel menggunakan solar, tampak licin, dengan bau solar menguap seluruh ruangan. Sementara tanganku menggengam erat pinggiran bangku kayu yang ku duduki. Menit-menit aku menunggunya, sosok tersebut akhirnya muncul. Berdiri di hadapanku, dengan dahi yang mengkerut dan kening lebatnya nyaris bertemu. + a,,,,,,,,,,,,,,,,